Indo Seru – Puluhan pengungsi dari Kabupaten Yalimo akhirnya tiba di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, setelah menempuh perjalanan panjang dan penuh ketegangan. Sebanyak 49 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka demi mencari perlindungan, usai kerusuhan melanda Distrik Elelim, Yalimo, Papua Pegunungan.
Malam itu begitu mencekam. Dengan menggunakan mobil, para pengungsi bergerak diam-diam menuju Wamena. Mereka baru tiba sekitar pukul 02.20 WIT, Rabu dini hari (17/9/2025). Kedatangan mereka disambut kelelahan, namun juga lega karena berhasil selamat.
Wakapolres Jayawijaya, Kompol I Wayan Laba, mengungkapkan bahwa rombongan pengungsi mendapatkan pengawalan ketat dari anggota Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya. Hal ini dilakukan untuk memastikan keselamatan setiap jiwa di tengah kondisi yang belum kondusif di Yalimo.
Dari 49 orang tersebut, 17 pengungsi memilih berlindung di Mapolres Jayawijaya. Mereka tidur di lantai markas kepolisian yang malam itu berubah menjadi rumah darurat. Sementara sisanya berusaha menemukan ketenangan di rumah kerabat mereka di Gang Nirwana.
Yang membuat hati terenyuh, sebagian besar pengungsi adalah masyarakat nusantara atau non-OAP (Orang Asli Papua). Mereka lari karena tak lagi merasa aman tinggal di Elelim. Bahkan, di antara rombongan itu terdapat enam aparatur sipil negara (ASN) dari Inspektorat Provinsi Papua Pegunungan. Mereka kebetulan sedang menjalankan tugas di Yalimo ketika kerusuhan meletus.
Begitu tiba di Wamena, para pengungsi langsung mendapatkan bantuan. Tim medis dan aparat menyediakan makanan serta perawatan kesehatan, karena mereka harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan. Walau tubuh letih, senyum tipis tampak saat mengetahui bahwa mereka kini berada di tempat yang lebih aman.
Kompol I Wayan Laba menegaskan, kondisi seluruh pengungsi, termasuk enam ASN tersebut, berada dalam keadaan baik. Meski demikian, luka batin akibat meninggalkan rumah dan kampung halaman tak mudah terobati.
Kedatangan para pengungsi Yalimo ke Wamena menjadi potret nyata betapa rapuhnya rasa aman ketika konflik melanda. Mereka datang dengan wajah lelah, tubuh letih, dan hati yang digelayuti kecemasan. Namun, mereka tetap membawa harapan—bahwa di tanah Papua Pegunungan masih ada tempat yang bisa memberikan perlindungan.