spot_img
spot_img

Denda Rp10 Juta Bagi Perokok di Jakarta Tuai Protes

Indo Seru – Rencana penerapan denda hingga Rp10 juta bagi perokok yang melanggar aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta memantik reaksi keras dari berbagai kalangan. Bukan hanya perokok yang merasa terancam, tetapi juga praktisi hukum hingga pelaku usaha yang melihat kebijakan ini tidak seimbang.

Dalam rancangan peraturan daerah (Ranperda) KTR yang tengah digodok DPRD DKI Jakarta, tercatat adanya sanksi tegas bagi pelanggar.

Bagi perokok yang sekali atau dua kali kedapatan merokok di area terlarang, denda administratif sebesar Rp250 ribu sudah menanti.

Jika pelanggaran dilakukan berulang hingga tujuh kali berturut-turut, nominal dendanya melonjak hingga Rp10 juta.

Tak hanya denda uang, pelanggar juga bisa dikenakan hukuman kerja sosial. Wakil Ketua Pansus KTR, Abdurrahman Suhaimi, menegaskan aturan ini tertuang dalam Pasal 17 Ranperda KTR yang disepakati DPRD.

Kritik Pedas Praktisi Hukum

Praktisi hukum Ramdan Alamsyah menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai kebijakan ini tidak adil jika dibandingkan dengan regulasi kendaraan bermotor yang justru menghasilkan polusi jauh lebih besar.

“Denda Rp10 juta bagi perokok itu sangat berat. Padahal asap kendaraan bermotor lebih masif dampaknya terhadap iklim dan kesehatan. Tapi regulasinya tidak seketat itu, pajaknya juga tidak dinaikkan signifikan,” ujar Ramdan di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Menurutnya, pemerintah perlu melihat persoalan ini dengan kacamata keadilan. Rokok memang menjadi kontroversi, namun dari sisi ekonomi, cukai rokok selama ini menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara. Sementara kendaraan bermotor lebih banyak berkontribusi pada pendapatan daerah, meski polusi yang ditimbulkan tidak kalah berbahaya.

“Semua orang punya hak mau merokok atau tidak, mau punya mobil atau tidak. Pemerintah sebagai regulator harus bijak melihat dampak sosial dan ekonomi. Jangan sampai hanya perokok yang terus dikejar, sementara polusi kendaraan bermotor dibiarkan,” tegas Ramdan.

Pernyataan ini membawa kita pada dilema klasik: antara hak individu, kesehatan publik, dan kepentingan ekonomi.

Ramdan juga mengingatkan soal dampak ekonomi. Menurutnya, kafe dan pusat perbelanjaan yang tidak menyediakan area merokok cenderung sepi pengunjung.

“Coba dicek, kafe atau mal tanpa area merokok pasti sepi. Karena perokok biasanya lebih royal dalam membelanjakan uang untuk makan dan minum. Jadi, jangan sampai regulasi ini justru mematikan roda ekonomi,” ucapnya.

Bagi banyak pengusaha, terutama sektor kuliner dan hiburan, keberadaan ruang merokok bukan sekadar fasilitas tambahan, melainkan magnet yang menjaga keberlangsungan usaha.

Ramdan meminta pemerintah mengkaji ulang rencana denda Rp10 juta tersebut. Fokus, katanya, seharusnya lebih diarahkan pada pengendalian polusi kendaraan bermotor yang jumlahnya sudah jutaan unit di Jakarta.

“Polusi kendaraan bermotor itu lebih masif, timbalnya bertahan lama di udara, dan dampaknya langsung maupun tidak langsung jauh lebih besar,” pungkasnya.

GoogleNews

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img