spot_img
spot_img

Kasus Korupsi CPO: Uang Suap Mengalir Untuk Pembangunan Kantor NU

Indo Seru – Sidang kasus korupsi CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah kembali membuka fakta mengejutkan. Pada Rabu, 17 September 2025, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seorang saksi bernama Suratno mengungkap aliran dana miliaran rupiah yang menyeret nama besar Nahdlatul Ulama (NU).

Suasana ruang sidang seketika hening saat Suratno, seorang advokat sekaligus Bendahara Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Kartasura, Jawa Tengah, menyampaikan kesaksiannya.

Ia menjelaskan bagaimana Djuyamto, terdakwa sekaligus hakim ketua yang kini duduk di kursi pesakitan, ternyata berperan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan dan Pembangunan kantor terpadu NU di daerahnya.

Dengan suara bergetar, Suratno membeberkan cara mereka mendapatkan dana pembangunan. Menurutnya, Djuyamto meminta bidang sekretariat membuat 11 proposal pengajuan dana. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Oktober 2025, ia diminta datang ke Jakarta.

Di ibu kota, ia menerima uang tunai Rp 2,5 miliar yang diserahkan langsung dalam sebuah koper. Namun, harapan itu berubah menjadi kecewa. Setelah dihitung, jumlahnya ternyata kurang sekitar Rp 97 juta, sehingga total yang diterima hanya Rp 2,402 miliar.

Jaksa terus menggali keterangan. Suratno kemudian mengaku ada penyerahan dana berikutnya. Kali ini, jumlahnya lebih besar: Rp 3 miliar kurang Rp 100 ribu. Ia menggambarkan momen itu dengan detail—penyerahan berlangsung di depan sebuah ruko, di pinggir jalan, setelah ia sempat memarkir mobil di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tak berhenti di situ, Suratno kembali menerima dana lain melalui transfer senilai Rp 250 juta. Semua dana itu, menurutnya, dipakai untuk membeli tanah serta memulai pembangunan gedung kantor MWC NU Kartasura. “Kalau diizinkan, tanah ini akan kami jual dan serahkan ke Jaksa Penuntut Umum,” ucapnya lirih.

Terseretnya Nama Hakim

Kesaksian ini semakin menambah beban bagi terdakwa Djuyamto. Bersama dua hakim lain, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom, ia didakwa menerima suap besar untuk meloloskan vonis lepas tiga perusahaan dalam perkara CPO.

Jaksa dalam sidang sebelumnya, Kamis, 21 Agustus 2025, menegaskan bahwa ketiga hakim nonaktif itu telah menerima uang suap US$ 2,5 juta atau setara Rp 40 miliar. Uang tersebut diterima dalam dua tahap, dengan peran penting dari Muhammad Arif Nuryanta, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, yang dikenal sebagai orang kepercayaan Arif.

Bagi warga NU Kartasura, kabar pembangunan kantor terpadu awalnya adalah sebuah harapan. Gedung itu diimpikan sebagai pusat kegiatan umat, tempat membangun persatuan dan pendidikan keagamaan. Namun, fakta yang terbuka di persidangan justru menodai niat suci tersebut. Dana yang mengalir ternyata berasal dari praktik kotor: suap dan korupsi.

Sidang ini tak hanya menyajikan angka-angka fantastis, koper berisi uang, dan transfer miliaran rupiah. Ia juga membawa keharuan—betapa sebuah organisasi keagamaan bisa ikut terseret dalam pusaran kasus korupsi para pejabat penegak hukum.

Kini, publik menunggu kelanjutan persidangan yang akan menentukan nasib para terdakwa. Apakah kebenaran akan terungkap sepenuhnya? Atau justru meninggalkan tanda tanya yang semakin pekat?

GoogleNews

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img